Sudahkan Engkau Berlaku Adil, Pada Papua?

Adikku melanggar hukum
Aku yang menjadi saksi
Paman penuntut umum
Ayah yang mengadili
walau ibu gigih membela yang salah diputus salah

Itulah keadilan tak kenal sistem famili
Itulah kebenaran yang harus dijunjung tinggi
Itulah ketertiban dalam pergaulan suci

BAIT-bait di atas merupakan lirik lagu group musik Nasidaria berjudul “Keadilan” yang pernah populer di tahun 90-an. Pada masa itu, sebagian besar generasi remaja muslim, sangat familiar dengan lagu-lagu islami Nasidaria, yang sarat pesan moral dan kerap diperdengarkan pada tiap ada hajatan atau acara keagamaan.

Saya tidak hendak mengulas group musik legendaris tersebut. Melainkan mengajak untuk merenungkan pesan penting keadilan dalam lagu tersebut yang belakangan makin jauh dari kehidupan kaum muslim Indonesia. Pembahasan mengenai keadilan dan perintah berbuat adil di dalam Islam sangatlah luas, meliputi semua aspek kehidupan. Keadilan merupakan salah sebuah prinsip yang harus menjadi landasan bagi semua aktivitas manusia dalam menjalani hidup, bila menghendaki tegaknya hidup bersama yang damai di muka bumi.

Allah berfiman, Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik (QS. An-Nahl: 90). Di ayat yang lain, Allah menyatakan dirinya menyukai mereka yang berbuat adil, Berbuat adillah, Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil (QS. al-Hujurat: 9).

Terdapat banyak ayat di dalam al-Qur’an yang memerintahkan orang beriman untuk berbuat adil, betapapun menyakitkan dan beresikonya tindakan tersebut. Karena seringkali seseorang tergoda untuk berbuat tidak adil bila menyangkut kerabat, orang dekat, atau golongannya sendiri. Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah pernah mengatakan dengan sangat keras, bahwa seandainya anaknya, Fatimah, mencuri, Ia akan memotong tangannya. Pesan moral pernyataan Rasulullah adalah pentingnya menegakkan keadilan meski terhadap orang yang dicintainya. Karena itu Allah berfirman, Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (QS. an-Nisa’: 58).

Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, keadilan makin mahal harganya, khususnya bagi rakyat kecil. Seringkali seorang pejabat tinggi negara, atau aparatur kekerasan negara yang melakukan kesalahan atau kejahatan bisa dengan mudah lepas dari jerat hukum. Salah satu contohnya, baru-baru ini, pemerintah secara telanjang melindungi kesalahan para tentara yang berbuat rasis dan mengintimidasi warga Papua di Surabaya. Tak ada satu pun anggota tentara yang telah berbuat rasis itu diputuskan bersalah. Alih-alih menangkap dan mengadili mereka, Kodam V Brawijaya hanya melakukan skorsing sementara terhadap lima anggotanya yang terbukti bersalah. Sementara di saat hampir bersamaan, pemerintah menetapkan beberapa aktivis pro-demokrasi yang turut bersolidaritas pada perjuangan kemanusiaan dan kemerdekaan di Papua ditangkap dan dinyatakan sebagai provokator. Bahkan lebih dari itu, alih-alih mengusut tuntas kasus penyebaran hoax yang memicu kekerasan, intimidasi dan tindakan rasis terhadap warga Papua di Surabaya, pemerintah jutsru merespon protes warga Papua di Papua dengan senjata. Inilah yang disebut hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Alasan mengapa para pelaku kejahatan melawan kemanusiaan tidak pernah diputuskan bersalah, karena ada anggapan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh para petinggi tentara adalah demi menjaga kehormatan dan kedaulatan negara. Seolah-olah untuk menjaga kehormatan negara, segala hal bisa dilakukan, termasuk membunuh manusia. Pandangan keliru seperti ini merupakan turunan dari nasionalisme sempit, right or wrong is my country. Tak hanya itu, seringkali kejahatan bila dilakukan oleh orang besar atas nama ide besar, seperti menjaga kedaulatan, atau membela kehormatan agama, akan cenderung dianggap benar. Sastrawan Fyodor Dostoyevsky dalam Crime and Punishment, menyindir cara pandang seperti ini. Berbeda dengan kejahatan kecil yang dilakukan oleh orang kecil yang dianggap salah, kejahatan besar yang dilakukan orang besar akan cenderung dianggap benar. Misal, sebesar apapun kesalahan Suharto pada rakyat Indonesia, Ia tetap dianggap besar jasanya bagi Indonesia. Cara berpikir seperti ini tentu saja mengecoh dan mengaburkan persoalan kejahatan yang dilakukannya. Kalau cara pandang ini dioperasikan maka tak ada satu penjahat kemanusiaan pun di muka bumi ini yang layak untuk diputuskan sebagai penjahat. Semua orang akan mengatakan, Fir’aun tidak salah, karena tanpanya tak akan pernah ada pembangunan Piramida. Atau Herman Willem Daendels tidak salah, karena tanpanya tak akan ada jalan raya Pos yang menghubungkan semua kota di Jawa. Dengan cara berpikir seperti ini, tidak aneh bila kejahatan demi kejahatan berlangsung tanpa pernah diproses secara hukum oleh pemerintah, sejak peristiwa pembantaian manusia 65 hingga rangkaian kekerasan yang terjadi di Papua.

READ  Ryano Panjaitan Mendaftar Calon Ketua Umum DPP KNPI

Dalam satu dekade ini, Amnesty International mencatat setidaknya ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua, antara Januari 2010 sampai Februari 2018, dengan memakan 95 korban jiwa. Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, dalam 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan dalam 11 kasus kedua aparat keamanan itu diduga terlibat bersama-sama. Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakkan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.

Bahkan bila dirunut sejak proses dipaksanya Papua bergabung pada Indonesia, telah sarat dengan ketidakadilan. Kesepakatan New York, Pasal XVII d yang berbunyi, The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals, to participate in the act of self-determination  to be carried out in accordance with international  practice (hak semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, bukan warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam tindakan menentukan nasib sendiri yang dilaksanakan sesuai dengan praktik internasional), dilanggar pemerintah Indonesia. Sebelum digelarnya Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera (Act of Free Choice) pada tahun 1969, militer Indonesia mulai melancarkan intimidasi terhadap berbagai aksi politik di Papua. Selama berminggu-minggu sebelumnya, para pemimpin Papua ditangkap, dipenjarakan atau diasingkan. Alih-alih memberikan hak pilih kepada seluruh rakyat Papua, pemerintah Indonesia hanya menunjuk 1026 orang yang dianggap mewakili wilayah Papua. Dengan kondisi tersebut, hasilnya adalah suara bulat mendukung integrasi dengan Indonesia, dan Papua dinamai Irian Jaya, menjadi provinsi ke-26 Indonesia. (Lih. Laporan International Center for Transitional Justice, 2012).

Karena itu, ada dua ungkapan terkenal di kalangan gerakan popular yang digunakan untuk mengkritik pemerintah Indonesia, semua orang berhak memperoleh keadilan kecuali bangsa Papua dan semua bangsa berhak merdeka kecuali bangsa Papua. Pernyataan tersebut menjadi cerminan hilangnya keadilan di Indonesia, khususnya bagi bangsa Papua yang dari berbagai aspek telah dihancurkan tanpa sisa.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terbesar Indonesia, dalam Bumi Manusia, mempunyai kalimat yang sangat indah mengenai pentingnya berlaku adil: seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Pernyataan tersebut benar. Anjuran bertindak adil sejak dalam pikiran menjadi fondasi dari tindakan. Seseorang tidak akan mampu bertindak adil sebelum adil dalam pikiran. Seseorang tidak bisa diharapkan mampu berlaku adil sebelum selaras antara kata dan tindakannya, sebab tindakan merupakan cerminan dari pikiran. Karenanya “Adil” menjadi kata yang mudah untuk diucapkan tapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Apalagi bila demi tegaknya sebuah keadilan harus menghadapi banyak resiko. Seseorang akan cenderung memilih untuk diam dan cari aman, meski kejahatan telah demikian terang. Lebih baik mengingkari suara hati nurani ketimbang dipersekusi atau dianggap sebagai musuh NKRI.

READ  ADA APA DENGAN P-APBD NIAS UTARA 2019? Berikut Penjelasan Lengkap Wakil Ketua DPRD Fatizaro Hulu, SE.MM.

Sangat disayangkan, di tengah parade kekerasan di Papua, belum ada satu organisasi Islam pun di Indonesia yang secara resmi mengeluarkan pernyataan mengutuk pada tiap bentuk kekerasan pada warga Papua. Belum ada ormas Islam yang secara organisasional mengkritik keras perampasan sumber daya alam dan pendekatan keamanan yang diambil pemerintah dalam menyelesaikan masalah di Papua. Organisasi Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah tentu sangat dinanti semua kalangan untuk menjadi pioner bagi perjuangan keadilan di Indonesia, dengan mengoptimalkan posisi sosialnya untuk menjadi wakil suara rakyat yang makin diabaikan pemerintah. Bukankah selama ini kita bersepakat untuk menolak tiap bentuk sikap tatharruf (ekstrim) serta menjunjung tinggi prinsip i’tidal (adil)? Bukankah operasi militer dan pendekatan keamanan merupakan salah sebuah bentuk sikap ekstrim tersebut? Bukankah kita semua bersepakat untuk melawan terorisme? Bukankah intimidasi, manipulasi, kriminalisasi yang dilakukan pemerintah pada para aktivis pejuang kemanusiaan dan pro demokrasi adalah bentuk terorisme tersebut?

Hanya ada satu pendekatan yang islami dan manusiawi bagi Papua, beri hak mereka untuk menentukan nasibnya sendiri.***

Source : Indoprogress.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *