Oleh: Yohanes Masudede *)
Kemaren Rabu (8/9/2021) kita dikejutkan dengan peristiwa kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Kota Tangerang, Banten yang menewaskan 41 orang napi serta 81 lainnya mengalami luka berat dan luka ringan.
Sungguh peristiwa nahas yang sangat menyedihkan bagi kita, akibat korsleting arus listrik telah menyisahkan duka mendalam bagi keluarga korban. Mengutip laman kompas, Menteri Hukum dan HAM RI menyampaikan kronologi kebakaran tersebut terjadi pada pukul 01.45 WIB.
“Terjadi kebakaran pukul 01.45 WIB, petugas pengawas melihat dari atas, pengawas melihat kondisi itu terjadi api, langsung menelepon kepala pengamanan di sini,” ujar Yasonna.
Kepala Lapas langsung menghubungi pemadam kebakaran setempat hingga 13 menit kemudian 12 unit pemadam kebakaran datang. Yasonna menyebut, kurang dari 1,5 jam api di Lapas Tangerang berhasil dipadamkan.
Menurut Yassona, Lapas Tangerang yang terbakar itu berada di Blok C2 yang dihuni oleh 2.072 orang. Melihat kronologis yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM maka patut dikatakan peristiwa kebakaran Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Kota tangerang Banten merupakan kelalaian Kemenkumham RI mengantisipasi dan mencegah berbagai masalah yang timbul di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang telah over capacity.
Sebagai menteri yang mengurusi langsung semua Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, menurut UU Nomor. 12 Tahun 1995 maka seharusnya Kemenkumham dapat melakukan kontrol dan evaluasi terhadap setiap Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang ada sehingga tidak terjadi peristiwa memilukan seperti ini.
Pasal 1 Ayat 3 UU Lapas berbunyi “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. Jadi disini lapas merupakan tempat pembinaan bagi setiap perilaku tercela yang dilakukan para narapidana atau anak didik narapidana.
“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas asas pancasila dan memandang terpidana sebagai makluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus.” (Soedjono Dirdjosisworo, 1984, hlm, 199).
Mereka juga mempunyai hak sebagaimana di atur dalam UU Nomor.12 Tahun 1995 Lapas, Pasal 14 Ayat 1 tentang hak-hak narapidana dimana hak ini wajib dipenuhi oleh pemerintah dalam hal ini Kemenkumham RI. Karena tujuan pemidanan sebagaimana dia atur dalam Pasal 51 RUHKP bukan lagi merampas semua kemerdekan seseorang tetapi mencegah terjadinya tindak pidana dalam masyarakat.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah bahwa menteri dengan kinerja terburuk dalam 100 kerja Jokowi Ma’ruf Amin adalah Menteri Hukum dan HAM, Sabtu, (8/2/2020). Sependapat dengan pernyataan itu, bahkan kalau di amati lebih jauh lagi sebenarnya tidak ada kinerja nampak yang sudah dilakukan dalam bidang Hukum dan Hak Asasi-Asasi Manusia.
Hal ini semakin menguat dan membuktikan dengan adanya peristiwa kebakaran yang tak mampu dicegah dan diantisipasi oleh Kemenkumham melalui Dirjen Lapas yang diibawah perintahnya.
Over capaticy merupakan penyebab banyak jatuhnya korban dalam kebakaran tersebut karena tidak adanya jalur evakuasi yang terbuka untuk menyelematkan diri dari nyalanya api tersebut. Menurut peneliti ICJR Maidina Rahmawati “Lapas Kelas I Tangerang per Agustus 2021 memuat penghuni sebanyak 2.087 WBP, padahal kapasitas lapas hanya untuk 600 WBP”.
Sungguh aneh, kapasitas tidak sesuai dengan isi lapas tapi kok malah tak pernah membenahi, kalau alasannya banyaknya kasus pidana hingga lapas penuh ya tinggal disampaikan ke para hakim agar kalau bisa pemidanaan terhadap kasus pidana khusunya narkoba dan narkotika jangan semua harus masuk lapas tetapi bisa dilakukan rehabilitasi. Ataukah semakin banyak orang over capacity akan semakin bagus?
Dalam peristiwa ini Kemenkumham tidak perlu memberikan alasan soal listrik yang belum di perbaiki dan sebagainya karena sebagai kementerian yang membidangi lapas maka seharusnya sebelum peristiwa terjadi sudah dicegah dan di antisipasi terlebih dahulu. Ada pepatah lama mengatakan, lebih baik mencegah dari pada mengobati, lebih terhormat mengundurkan diri dari pada bertahan pada kesedihan dan duka orang lain.
*) Analis Kawal Konstitusi, Magister Hukum