Dana Desa Bondowoso Terganjal, Apa Langkah Selanjutnya?

Polemik terkait pencairan Dana Desa (DD) tahap II non-earmark di Kabupaten Bondowoso kembali mencuat. Sebanyak 60 Pemerintah Desa (Pemdes) di 19 kecamatan menghadapi tantangan besar akibat regulasi baru dari pusat yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2025. Kebijakan ini yang seharusnya mempermudah akses dana justru menjadi penghalang bagi desa-desa tersebut untuk mengoptimalkan pengelolaan keuangan mereka.

Regulasi PMK 81/2025 dan Dampaknya

Regulasi terbaru PMK 81/2025 mengubah tata cara pencairan Dana Desa dengan memperketat persyaratan administrasi dan pelaporan. Meski dimaksudkan untuk memastikan akuntabilitas penggunaan dana, penerapan aturan ini ternyata menjadi beban tambahan bagi Pemdes yang minim sumber daya manusia dan kemampuan teknis. Dampaknya, desa-desa ini terhambat dalam menjalankan program pembangunan yang telah direncanakan sejak awal tahun.

Kepentingan Lokal vs Aturan Pusat

Salah satu persoalan mendasar dalam penerapan PMK 81/2025 adalah perbedaan kebutuhan dan kapasitas antara pemerintah pusat dan daerah. Desa-desa di Bondowoso, sebagian besar berada di lokasi terpencil dengan fasilitas yang terbatas dan tenaga ahli yang minim, kesulitan untuk memenuhi standar administratif yang tinggi. Keputusan dari pusat sering kali tidak sinkron dengan situasi di lapangan, sehingga banyak desa terpaksa menghentikan proyek penting karena kekurangan dana.

Apa yang Bisa Dilakukan oleh Kemenkeu?

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, diharapkan dapat melihat situasi ini dengan kebijakan yang lebih bijak dan kontekstual. Evaluasi ulang terhadap pelaksanaan PMK 81/2025 perlu dilakukan untuk menemukan solusi yang memungkinkan desa-desa ini tetap bisa mengakses dana sesuai kebutuhan masing-masing. Langkah seperti pelonggaran persyaratan atau memberikan pendampingan teknis kepada desa yang kesulitan dapat menjadi opsi yang patut dipertimbangkan.

Dinamika Politik Lokal

Kondisi yang dihadapi Bondowoso sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan di dinamika politik lokal Indonesia. Kebijakan top-down yang tidak mempertimbangkan input dari tingkat lokal sering kali menimbulkan gesekan dan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam konteks ini, peran pemerintah provinsi dan kabupaten sangat vital untuk menjembatani komunikasi antara desa dengan pemerintah pusat agar aspirasi lokal dapat didengar dan dicarikan jalan keluarnya secara adil.

Solusi Inklusif untuk Pembangunan Daerah

Solusi jangka panjang untuk masalah ini tentu saja tidak hanya terletak pada perubahan regulasi semata, tetapi juga penguatan kapasitas pemerintahan desa. Penyediaan pelatihan administrasi dan pembiayaan, serta penggunaan teknologi informasi dalam proses pelaporan dana, dapat membantu desa menghadapi tuntutan regulasi dengan lebih baik. Sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta juga bisa menjadi katalis pertumbuhan desa yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

Secara keseluruhan, mantapnya kebijakan pencairan Dana Desa harus ditopang oleh mekanisme yang adil dan efisien agar desa-desa dapat menjalankan program pembangunan tanpa hambatan. Dengan kesiapan aparat desa dan dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah pusat dan daerah, diharapkan masa depan pengelolaan Dana Desa di Bondowoso akan lebih optimis, sehingga rencana pembangunan dapat diwujudkan untuk kesejahteraan masyarakat setempat.