Prabowo Resmi Ditetapkan Sebagai Presiden oleh KPU, Bagaimana Nasib Kebebasan Sipil dan HAM di Indonesia?
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, penetapan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 tidak menggugurkan status dia sebelumnya sebagai seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu sebagai seorang kepala negara, Prabowo memiliki pekerjaan rumah (PR) yang cukup banyak dibandingkan dengan seorang presiden yang tidak memiliki beban seperti yang dimilikinya.
“Jadi, ya sudah dia sebagai kepala negara, kepala pemerintahan Indonesia, kalau memang sudah resmi, tidak menegasikan, tidak menggugurkan berbagai dugaan pelanggaran HAM yang melekat kepada dirinya. Dan juga tidak menggugurkan tugas negara untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut,” ungkap Wirya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (24/4).
Dalam kesempatan ini Wirya pun menjawab kekhawatiran dari berbagai pihak akan nasib kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat serta nasib HAM di tangan kepemimpinan Prabowo-Gibran nanti.
Menurutnya, hal tersebut harus terus diawasi dan diwaspadai oleh seluruh lapisan masyarakat dalam lima tahun ke depan. Meski begitu, jika dilihat secara saksama, kondisi dan situasi kebebasan masyarakat sipil dan HAM pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo selama hampir sepuluh tahun dikatakan oleh Wirya sudah tidak baik.
Ia mencontohkan masih ada Undang-Undang (UU) yang mengandung kriminalisasi yang bisa menjerat masyarakat sipil seperti UU ITE. Dalam konteks UU ITE, meskipun kelompok masyarakat sipil sudah berupaya untuk menghilangkan pasal-pasal yang berbau kriminalisasi di Mahkamah Konstitusi (MK), masih saja terdapat pasal-pasal lain di dalamnya yang bisa menjerat siapa pun yang dianggap melanggar.
“Kenapa kita punya alasan khawatir karena presidennya Prabowo? Presiden sekarang ini bukan militer, presiden yang sekarang ini tidak pernah mengalami menjadi pejabat di masa Orde Baru, tapi toh kita tetap mengalami berbagai regresi kebebasan sipil. Jadi kita tentu harus meningkatkan kewaspadaan sesudah Prabowo terpilih,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama peneliti PUSAKA Ambrosius Mulait menyoroti konflik di Papua di tangan pemerintahan Prabowo-Gibran kelak. Ia pesimistis akan ada penyelesaian konflik yang cukup baik. Ia yakin, Prabowo-Gibran akan mewarisi sebagian besar kebijakan Jokowi.
Berdasarkan apa yang ia amati di dalam debat capres dan cawapres sebelumnya, Prabowo dinilainya tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan permasalahan di Bumi Cenderawasih tersebut. Ambrosius memprediksi bahwa sebagai kepala negara, Prabowo akan melihat konteks Papua sebagai hal yang bersifat politis, dan menurutnya hal tersebut akan meningkatkan angka kekerasan di sana.
“Kami berharap untuk teman-teman di (tingkat) nasional bisa bantu kami untuk mengadvokasikan kasus di Papua karena kami menganggap waktu itu Jokowi sipil, tapi kebijakannya tetap otoriter di Papua. Dan yang akan mewarisi adalah anaknya yang merupakan ‘anak haram konstitusi’. Ini akan semakin memperparah situasi di Papua karena sampai saat ini masih dominan pengiriman militer di Papua,” ungkap Ambrosius.
Sementara itu, Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan, daripada sibuk membayangkan kepemimpinan Prabowo dalam lima tahun ke depan, akan lebih baik jika semua pihak, terutama masyarakat sipil, memiliki persiapan untuk membangun solidaritas, membangun konsolidasi agar masyarakat bisa menjadi “oposisi” yang kuat bagi pemerintahan. Ia menilai masyarakat tidak bisa berharap banyak kepada partai-partai politik dan juga parlemen yang seharusnya mewakili rakyat.
Menurutnya, masyarakat sipil harus memperluas basis dan memperluas gagasan di lingkungan masyarakat terutama di tingkat akar rumput. Dengan begitu, lanjutnya, masyarakat dapat memiliki pengetahuan yang mumpuni akan situasi dan dunia perpolitikan di tanah air pad masa mendatang.
“Kita teriak-teriak soal isu demokrasi, kecurangan di pemilu tetapi survei menyatakan 70 persen masyarakat puas terhadap pemilu. Bagaimana kita membalikkan situasi ini? Politik dan kepemimpinan adalah cermin dari rakyat. Kalau rakyatnya kita dekati , kita ambil alih lagi, kita datangi kembali, saya yakin masyarakat akan sadar, dan punya kemampuan memilah dan memilih kira-kira mana kebijakan yang bisa ditentang, mana yang bisa ditolak,” pungkasnya. [gi/uh]