Jusuf Kalla (JK), yang dikenal selalu bicara blak-blakan, menyampaikan pernyataan itu dalam acara diskusi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3).
“Kita baru saja melewati suatu cara pemerintahan demokratis dengan pemilu ini yang bagi kita, bagi banyak pihak yang menilai bahwa ini perlu dikoreksi, perlu dievaluasi. Bagi saya, saya pernah mengatakan ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah pemilihan sejak tahun 1955,” ungkap JK.
JK menjelaskan, hal ini dikarenakan pemilu itu diduga telah diatur oleh kelompok minoritas yang terdiri dari segelintir orang dalam pemerintahan, dan pihak-pihak yang mempunyai uang banyak. Jika hal semacam ini terus dibiarkan, ia khawatir Indonesia akan kembali menjalankan sistem otoriter.
Begitu banyaknya berbagai kelompok elemen masyarakat yang mempertanyakan keadaan demokrasi di tanah air, termasuk luapan rasa kemarahan dan protes yang menilai pemilu tidak transparan, “menguatkan dugaan saya,” ujar JK.
JK juga sempat mengungkit berbagai isu yang berkembang di masyarakat menjelang pilpres, terkait penggunaan fasilitas negara yang sengaja dilancarkan untuk memenangkan paslon tertentu.
“Mulai dari masalah dana bansos yang besar, masalah ancaman, masalah bujukan. Gabungan dari semua itu tentu menyebabkan adanya yang saya katakan tadi (jadi pemilu terburuk). Maka demokrasi yang kita harapkan, dambakan, suara rakyat menjadi terbeli,” jelasnya.
Salah satu cara untuk menjawab semua hal itu menurutnya adalah lewat jalur konstitusional yaitu dengan hak angket. Hal ini penting agar pemerintahan yang baru dapat berjalan dengan kepercayaan penuh dari masyarakat.
“Kita selesaikan secara konstitusional karena apabila tidak konstitusional, masalah ini akan selesaikan dengan parlemen jalanan di seluruh masyarakat. Dan itu menyebabkan kita mundur lagi pada situasi yang datang,” tegasnya seraya menambahkan, “yang sekarang ini, contohnya, angket atau apa pun, pansus atau bagaimana, harus diselesaikan di situ. Supaya ini negara berjalan, jangan kita rusak negara ini lagi.”
Pakar: Bentuk Kecurangan dalam Pemilu 2024 Terstruktur, Sistematis dan Masif
Berbicara dalam forum yang sama, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengakui dalam setiap pemilu pasti ada kecurangan, namun yang terjadi dalam pemilu 2024 ini sudah terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
“Kalau dibandingkan dengan yang lama-lama menurut saya ini yang paling buruk. Kecurangan selalu ada. Kita semua tahu kecurangan itu selalu ada, tapi kan kecurangannya ya apa namanya TSM-nya juga ada juga sih, tapi bobotnya pada tahun ini terlalu luar biasa,” ujarnya.
Ia menilai penggunaan fasilitas negara dan pemanfaatan kinerja aparatur sipil negara (ASN) hingga pembentukan koalisi besar dalam pemerintahan Joko Widodo, tidak saja membunuh oposisi sebagai pengontrol dan pengawas, tetpai juga semakin memuluskan terjadinya kecurangan dalam pemilu.
“Ibaratnya pemerintah mau (bikin) undang-undang apa saja, lolos kayak Orde Baru banget, DPR itu bener-bener stempel. Oke kita bunuh KPK, 2 minggu jadi undang-undangnya. Oke kita bikin undang-undang Minerba, 6 hari Jadi undang-undangnya. Kita mau pindah Ibu kota ke IKN, 21 hari jadi undang-undangnya. Dan sejak 2017 tidak ada hak angket. 2017 itu terakhir hak angket terhadap KPK. Jadi kan fungsi pengawasan juga sebenarnya mati,” jelasnya.
Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil yang mengkritik pemerintahan pun belakangan ini selalu ditakuti-takuti dengan adanya UU ITE, bahkan diancam untuk ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Mereka yang kerap menyuarakan adanya kecurangan dalam pemilu ujarnya selalu dicap merusak persatuan dan kesatuan.
“Akhirnya demokrasi kita mungkin terdengar indah dengan banyak pembangunan, pembangunanisme, tapi sebenarnya di dalamnya ini keropos. Dan ini yang sebenarnya mengerikan sih,” tegasnya.
Sekjen PDI-Perjuangan: Pemilu 2024 adalah Paduan Pemilu 1971 dan 2009
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengibaratkan pemilu 2024 yang dinilainya penuh kecurangan ini sebagai perpaduan antara pemilu 1971 dan pemilu 2009 era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ia menilai pemilu pada tahun 1971 lalu sebagai pemilu yang penuh dengan kecurangan yang bersifat masif oleh ABRI. Sementara pada pemilu 2009, ada yang menggunakan bansos untuk kepentingan electoral.
Hasto mengklaim ada 54 persen kepala daerah dari partainya yang ditekan menjelang pemilu.
“Itu digencet semuanya caranya bagaimana kepala dinasnya dipanggil dulu yang kontra dengan kepala daerah. Kemudian dilakukan pemetaan atas persoalan-persoalan hukum yang dihadapi kepala daerah lalu terjadi kan sebagai instrumen untuk menekan,” ungkap Hasto.
Ia juga menyebut serangan yang dilancarkan terhadap capres nomor urut 03 Ganjar Pranowo ketika ingin mengajukan hak angket terkait pemilu 2024. Ganjar justru dilaporkan ke KPK oleh Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso, dengan tuduhan gratifikasi dari BPD Jateng.
Meski begitu, kata Hasto, PDI Perjuangan memiliki opsi untuk melakukan perlawanan secara terstruktur.
“Maka perpaduan (pemilu) 1971 sama 2009 ini harus dilawan secara terukur. Jadi kami opsinya adalah melakukan suatu perlawanan secara terukur. Bagaimana perlawanan secara terukur itu? Kita melihat reaksinya. Baru Pak Ganjar mengusulkan hak angket langsung disetrum. Ada yang melaporkan ke KPK. Itu setrum-setruman ini banyak sekali,” jelasnya.
“Media sudah mulai disetrum. Tempo, Kompas, Media Indonesia. Dan inilah yang kemudian wajah populis yang ternyata berlindung di balik kata-kata demokrasi prosedural,” pungkasnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan mengumumkan secara resmi pemenang pemilu 2024 ini setelah menerima rekapitulasi hasil penghitungan suara, yang diperkirakan baru akan selesai sekitar tanggal 20 Maret. [gi/em]