Lima hari menjelang pemungutan suara, ratusan aktivis perempuan dari berbagai organisasi hari Jumat (9/2) turun ke jalan dan menggelar “Mimbar Demokrasi Perempuan” di kawasan Monas, Jakarta. Mereka dengan lantang menyampaikan kritik tajam terhadap praktik di pemerintahan yang dinilai telah mencederai dan mengangkangi demokrasi. Secara silih berganti, aktivis-aktivis perempuan yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM ini menyampaikan seruan moral mereka, terutama menyoal hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah seorang aktivis perempuan senior yang juga mantan komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuni Chuzaifah menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo, yang di akhir masa jabatannya diharapkan akan mewariskan etika dan moral berharga, tetapi justru mengoyak dengan praktik-praktik nepotisme.
“Amanah reformasi diinjak-injak! Dikatakan nepotisme tidak ada tetapi justru anak dimunculkan dengan merusak mekanisme di Mahkamah Konstitusi yang selama ini merupakan mekanisme adi luhung yang dijunjung rakyat. Lalu kami bisa bergantung pada sistem apa lagi kalau Mahkamah Konstitusi tidak ada, tidak dididengarkan, bahkan digunakan untuk kendaraan politik,” ujar Yuni kepada VOA.
Ia juga menyoroti penyalahgunaan distribusi bantuan sosial (bansos) yang menurutnya justru digunakan sebagai bagian dari politik partisan. Koalisi aktivis perempuan yang terdiri dari lebih 500 individu, tegasnya, menilai Presiden Jokowi menunjukkan secara telanjang bahwa kekuasaan lebih utama dibanding kesatuan negeri dan rasa keadilan bagi masyarakat. Padahal presiden sedianya konsisten pada sumpahnya dan menjaga netralitas, serta tidak mengambil tindakan yang merusak dan melukai bangsa.
Salah satu penyesalan lain, ujar Yuni, adalah belum ada pertanggungjawaban jelas terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus Mei 1998. Bahkan Jokowi menyampaikan dukungan kepada pasangan calon yang jelas-jelas punya jejak pelanggar HAM berat.
“Dalam konteks Mei 98, pemerkosaan massal jadi kami merasa kayak rahim perempuan, rahim perempuan para korban dibiarkan terkoyak dan menginjak-injak sejarah untuk tunggangan kekuasaan,” tegas Yuni.
Koalisi Perempuan Desak Presiden Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu
Perempuan aktivis senior, yang pernah menjabat berbagai badan terkemuka di dalam dan luar negeri, Zumrotin Susilo, saat membacakan seruan dari Koalisi Perempuan Penyelamat Demokrasi dan HAM, mengatakan dengan tegas, “Kami mendesak presiden untuk menghentikan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu 2024. Kami menolak ketidaknetralan presiden karena merusak demokrasi, mengoyak keadilan dan memecah bangsa, serta menolak penyalahgunaan kekuasaan dalam mendukung pasangan calon dengan melanggar konstitusi, mengukuhkan nepotisme, oligarki dan patriarki.”
Mewakili ratusan perempuan yang berunjukrasa, ia mengatakan presiden telah meninggalkan nilai-nilai demokrasi berperspektif perempuan dan tidak menganggap penting seruan moral dan kritik, tidak saja dari kelompok-kelompok perempuan, tetapi juga organisasi masyarakat sipil dan universitas-universitas.
Koalisi Perempuan Siap Perluas Jaringan ke Daerah
Secara terpisah, seorang aktivis perempuan lain yang hanya ingin disebut sebagai Ulfa, mengatakan koalisi ratusan aktivis perempuan ini akan terus bersuara dan memperkuat jaringan mereka ke kelompok-kelompok perempuan di berbagai daerah.
“Kami tidak akan berhenti untuk memberitahu Jokowi untuk segera berhenti melakukan cawe-cawe pada Pemilu 2024 ini. Biarkan pemilu berjalan sesuai aturan, biarkan ada penegakan hukum, ketika ada yang melanggar dia harus diberi sanksi, tidak dibiarkan bahkan justru diberi ruang untuk tidak mendapat sanksi yang harus diberikan sesuai aturan yang berlaku,”kata Ulfa.
Aktivis: Hukum Jadi Political Engineering, Bukan Social Engineering
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi yang menurutnya telah menunjukkan secara nyata penggunaan hukum sebagai political engineering, bukan social engineering.
“Dari awalnya tidak ada satu orang pun di fakultas hukum yang pernah berfikir bahwa proses yang ada di MK bisa menghasilkan putusan seperti ini,” ujarnya lirih.
Putusan Mahkamah Agung membuat putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang baru dua tahun menjabat sebagai wali kota Surakarta, dapat melenggang menjadi calon wakil presiden untuk mencampingi calon presiden Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Lebih jauh Harkristuti Harkrisnowo mengatakan putusan itu membuat seakan-akan hukum tidak ada kaitannya dengan etika. “Bahwa kalau sudah sesuai hukum, maka etika tidak menjadi hal penting. Padahal kita hidup di Indonesia, dan sejak kecil selalu diajari etika,” tegasnya.
Pelaksana Tugas Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Rumadi Ahmad mengatakan senang dan menghargai masukan yang diberikan kepada pemerintah. “Terkait pemilu, sekarang sedang berjalan. Kita tidak mungkin mundur untuk pelaksanaan pemilu, meskipun berbagai macam dinamikanya kita sudah tahu. Pada akhirnya nanti masyarakat yang menentukan pada tanggal 14 Februari,” ujarnya. [fw/em]