“Saya sudah memilih tiga kali, 2014, 2019 dan sekarang, insya Allah.
Tahun 2014 saya di kampung, saya merasa meriah sekali, seperti ada antusiasme. Ketika itu, suasana kampanye maupun pemilihan presidennya terasa sekali,” kata Ida Jubaedah (29). Perempuan asal Kuningan, Jawa Barat, itu, mulai bermukim di AS pada tahun 2022.
Pemilu berikutnya ia ikuti setelah pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Menurut Ida, suasana pemilu di ibu kota lebih terasa lagi gregetnya. Sementara itu, ketika bermukim tak jauh dari ibu kota AS, tepatnya di College Park, Maryland, “Di sini rasanya sepi,” ujarmya.
Ady Saputra (29), di Baton Rouge, Louisiana, merasakan hal yang sama. Ia baru satu semester menjadi mahasiswa program S-3 di jurusan Kimia di Louisiana State University (LSU). Ady mengaku belum banyak terhubung dengan warga negara Indonesia lainnya di kampus, di kota tempat tinggalnya atau di kota-kota lainnya. Beberapa diaspora Indonesia yang sudah ia kenal, tidak lagi punya hak pilih. Jadi, kata Ady, yang pemilu sebelumnya ia ikuti ketika menjadi mahasiswa S-2 di Beijing, “Saya tidak merasa sebegitu euforia menjelang Pilpres.”
Dari sisi pendaftaran sebagai pemilih, Ida menganggap prosesnya sangat sederhana dibandingkan dengan di Indonesia. Ady justru merasakan sebaliknya. Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi antusiasme Ady dan Ida dalam mencari informasi mengenai para paslon dan program mereka.
Ida baru satu kali berinteraksi langsung dengan tim sukses paslon, sedangkan Ady tidak pernah. Karena itu, mereka mantap menentukan pilihan berdasarkan informasi yang mereka telusuri dari berbagai platform media sosial, seperti YouTube, Instagram, hingga TikTok, situs-situs berita bahkan komunikasi dengan keluarga di tanah air.
Berbeda dengan Zayla Ihsan (19). Mahasiswi semester 4 di George Washington University ini belum dapat memastikan calon pilihannya. Zayla, yang tinggal di seputaran ibu kota Amerika, masih mencari tahu tentang ketiga capres berikut rincian program mereka dengan menonton debat mereka dan mencari tahu secara online.
Sebagai diaspora Indonesia, Zayla merasa tidak mudah mencari sumber daya yang baik guna mempelajari para calon presiden. Ia mengungkapkan, “Apalagi kalau semua berita itu lebih tentang drama antara kandidat, antara partai. Sebenarnya, , ini pertama kali aku mencoblos, aku ingin sekali belajar langsung tentang program para kandidat dan ingin tahu apakah mereka benar-benar peduli tentang masyarakatnya.”
Yang membuat Zayla lebih awas lagi mengenai seorang calon adalah apabila yang bersangkutan selama debat atau wawancara lebih fokus untuk mencari-cari kesalahan lawan, bukan program yang dimajukannya.
Ady melihat hal demikian pada debat capres kedua awal Januari lalu, yang membuatnya semakin yakin mengenai paslon pilihannya. Menurutnya, “Debat terakhir itu bentuknya intimidasi. Untuk seorang leader ke depannya menurut saya itu tidak sepantasnya men-judge orang di depan khalayak umum.”
Lain lagi pendapat Ida yang melihat ada sesi ‘joget-joget’ dalam acara debat. Meski pun lucu, tetapi menurutnya hal itu tidak tepat untuk acara debat yang serius. Ia lebih suka melihat calon yang lebih mengutamakan visi misinya.
Meskipun berbeda pengalaman dalam mengikuti pemilu, ketiga pemilih pertama di AS ini sama-sama menyatakan pentingnya pendidikan menjadi perhatian utama para capres.
Menurut Zayla,“ini terutama pendidikan yang bagus untuk semuanya, akses yang merata untuk pendidikan bagus. Selain itu, kesehatan, terutama akses kesehatan yang merata, itu penting untuk aku.”
Ady sependapat dan mengatakan sistem pendidikan di Indonesia harus lebih baik lagi. Tapi tak kalah penting baginya adalah masalah pertahanan nasional dan hubungan internasional dan menambahkan, “Ketahanan pangan juga, masih banyak warga negara Indonesia yang masih dalam status ekonomi menengah ke bawah, jadi isu-isu kemiskinan.”
Sementara itu Ida mengacu pada pengalaman keluarga besarnya di kampungnya yang sedikit berpendidikan tinggi tetapi punya banyak sawah. “Banyak paslon yang menjanjikan susu gratis, ada juga makan gratis. Tapi kalau saya lebih melihat mana yang [program] pendidikannya lebih menjamin. Pendidikan itu penting,” komentarnya.
Aktif berorganisasi semasa kuliah di UNJ, maka Ida pun menginginkan presiden terpilih adalah sosok yang menonjol jiwa kepemimpinannya dan berwibawa.
Tak hanya itu. Ady menambahkan seorang capres haruslah berperilaku baik untuk dapat menjadi teladan bagi rakyatnya. Ia prihatin karena ada capres yang lebih mengedepankan politik identitas atau agama dalam kampanye mereka, mengingat Indonesia menganut semboyan Bhineka Tunggal Ika. Jadi, presiden ideal baginya adalah, “Pertama dia harus patuh dengan Pancasila, terutama pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak membawa isu tentang ras, suku, punya misi dan visi yang lebih solid.”
Ini senada dengan sosok presiden ideal bagi Zayla, yaitu, “Kandidat yang dapat mewakili seluruh masyarakat Indonesia, bukan cuma mewakili satu golongan.”
Siap mengikuti perkembangan zaman, dan, membawa program yang berfokus untuk memeratakan kesempatan hidup yang baik bagi semua orang, lanjut Zayla.
Ia, juga Ida, berencana memberikan suara langsung di Kedutaan di Washington DC. Sedangkan Ady memilih untuk mengirimkan surat suaranya melalui pos.
Pemberian suara langsung di AS akan dilakukan serentak di kedutaan besar Indonesia di Washington DC dan di seluruh konsulat jenderal pada 10 Februari mendatang. [uh,ng/ab]