Netralitas Presiden Joko Widodo dalam pemilu presiden 2024 kembali menjadi pertanyaan publik ketika ia melangsungkan pertemuan dengan tiga ketua partai politik Koalisi Indonesia Maju yang mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritisi hal ini.
VOA – Satu foto yang memperlihatkan keakraban suasana makan malam antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Restoran Seribu Rasa, Menteng, Jakarta, pada tanggal 5 Januari, kembali memicu pertanyaan publik yang sudah lama meruap soal netralitas presiden dalam pemilu 2024.
Lebih dari 1,4 juta orang bereaksi atas foto yang diunggah di akun Instagram Prabowo Subianto, yang juga merupakan calon presiden nomor urut dua ini. “Kok bisa terang-terangan gini presiden berkuasa makan malam dengan kandidat capres yang sedang berkontestasi?” tanya @rizqisolehudin, salah seorang netizen. Lainnya menyampaikan dukungan untuk memenangkan pemilu satu putaran.
Selang beberapa jam, Presiden Jokowi tampak jogging dan sarapan pagi dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kebun Raya Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat.
“Sabtu pagi, saya bersama Bapak Presiden Joko Widodo berolahraga jalan sehat sambil menikmati suasana Kebun Raya Bogor yang rimbun dan segar, dilanjutkan sarapan bersama,” tulis Airlangga, yang juga Menteri Koordinator Perekonomian, di bawah foto yang dipasang di akun Instagramnya.
Sehari kemudian Jokowi makan siang bersama Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan di Medja Restaurant di Bogor. “Menikmati indahnya Kota Bogor dengan makan siang bersama Bapak Presiden Jokowi…” tulis menteri perdagangan ini di akun Instagramnya.
Ketiga tokoh ini adalah bagian dari Koalisi Indonesia Maju KIM yang mendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden nomor urut dua. Satu-satunya pemimpin partai dari koalisi ini yang belum kunjung diajak makan oleh Jokowi adalah Partai Demokrat.
Kepada wartawan, Ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan tak ambil pusing dengan hal itu. Ia menggarisbawahi tekadnya untuk membantu memenangkan duet Prabowo-Gibran dan sekaligus melipatgandakan perolehan suara Partai Demokrat di pemilu legislatif.
JK: Jika (Presiden) Tidak Adil, Berarti Melanggar Sumpah
Dua hari setelah tiga pertemuan yang dilangsungkan presiden di luar Istana Kepresiden itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla tampaknya mengirim isyarat dengan mengatakan “presiden dan pejabat negara seharusnya bersikap netral” dalam pemilu.
“Netralitas presiden itu ada dalam sumpah seorang presiden. Sumpah itu diawali dengan demi Allah… saya akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Jika tidak adil, berarti melanggar sumpah, yang lebih tinggi dari undang-undang, apalagi diambilnya pake Al-Qur’an. Jadi jika ada pejabat, bukan hanya presiden, yang melanggar sumpah maka dia kena dua, Allah kena, undang-undang juga kena,” sebutnya.
Dengan cepat Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko membantah pernyataan Kalla, meskipun ia tidak menjawab pertanyaan tentang pertemuan-pertemuan yang dilakukan presiden.
“Pernyataan itu subyektif. Jika subyektif ya sulit melihat secara utuh. Jika belum apa-apa sudah subyektif melihat sesuatu maka bisa-bisa salah,” kata Moeldoko.
Tanda-Tanda Kemunduran Demokrasi?
Peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Prof. Dr. R. Siti Zuhro menilai apa yang terjadi kurang dari satu bulan sebelum pemungutan suara ini, menunjukkan kemunduran demokrasi dan tidak dipatuhinya etika berpolitik.
“Kita sudah enam kali pemilu, mengapa masih ontrang-antring. Ini bukan hanya stagnasi tetapi mundur. Kalau hukum saja sudah di-ontrang-antring seperti ini, bagaimana nasib demokrasi kita. Kita jadi khawatir ada perspektif yang gloomy pada demokrasi kita karena etika tidak lagi dikhidmadkan… Pemilu 2024 ini memberi nuansa yang beda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kita dihadapkan pada drama distorsi tahapan pemilu yang merupakan penyimpangan,” jelasnya.
“Mulai dari proses rekrutmen capres/cawapres, usulan tiga periode, tunda pemilu, konflik internal partai – di Partai Demokrat, Partai Golkar – judicial review UU Pemilu ke MK, hingga judicial review usia capres/cawapres yang menghasilkan anak haram konstitusi, dan netralitas aparat negara. Ini semua menunjukkan arah pemilu Indonesia ke arah distorsi. Walhasil public distrust (ketidakpercayaan publik) pada penguasa pun meningkat dan semua jadi khawatir, bukan hanya publik tetapi juga partai politik dan para politisi, akan nasib bangsa ini ke depan,” lanjutya.
Hal senada disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, yang secara blak-blakan menyebut Pasal 4 dan Pasal 9 UUD 1945 yang menegaskan urgensi netralitas seorang presiden.
“Netralitas tidak hanya ditentukan oleh hal-hal yang berkenaan dengan konteks dan UUD, tetapi juga oleh personalitas untuk menjelaskan suatu perilaku. Sayangnya, personalitas untuk menjelaskan perilaku ini seringkali bukan merupakan ranah hukum. Tapi ketaatan pada etika ikut menentukan netralitas. Sampai sejauh mana presiden memahami pentingnya etika dalam menjalankan negara. Presiden haruslah memimpin setiap proses tahapan pemilu dengan bertindak netral karena presiden merupakan kepala pemerintahan dan kepala negara, dan dalam sistem presidensiil, presiden adalah aktor yang sangat penting demi terwujudnya penyelenggaraan negara yang demokratis dan berlandaskan hukum,” sebutnya.
Kegusaran publik dengan sikap Presiden Joko Widodo dalam pilpres 2024 sebenarnya telah tercermin dari hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia LSI pada awal November lalu, yang menunjukkan bahwa 28,7 persen responden menilai presiden tidak netral dan berpihak pada salah satu pasangan capres/cawapres.
Meskipun begitu 60,5 persen responden tetap yakin pada netralitas aparat negara atau pemerintahan. Survei LSI ini menggunakan teknik wawancara lewat telpon atas 1.426 responden yang sebarannya mewakili demografi populasi di seluruh Indonesia, berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. [em/jm]